Selasa, 27 Oktober 2009

Hirarki Peraturan Per-UU-an

Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Nasional

Sejarah Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Sejak tahun 1966 sampai dengan sekarang telah dilakukan perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada tahun 1996, dengan Ketetapan MPR No. XX/MPR/1966 Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia adalah:
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti:
- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri
- Dan lain-lainnya

Pada tahun 1999, dengan dorongan yang besar dari berbagai daerah di Indonesia untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas serta semakin kuatnya ancaman disintegrasi bangsa, pemerintah mulai mengubah konsep otonomi daerah. Maka lahirlah Undang Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (telah diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004). Perubahan ini tentu saja berimbas pada tuntutan perubahan terhadap tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Karena itulah, dibuat Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang. Kalau selama ini Peraturan Daerah (Perda) tidak dimasukkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, setelah lahirnya Ketetapan MPR No. II Tahun 2000, Perda ditempatkan dalam tata urutan tersebut setelah Keputusan Presiden.

Lengkapnya, tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia setelah tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah

Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Saat ini
Pada tanggal 24 Mei 2004 lalu, DPR telah menyetujui RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) menjadi UU No. 10 Tahun 2004, yang berlaku efektif pada bulan November 2004. Keberadaan undang-undang ini sekaligus menggantikan pengaturan tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada dalam Ketetapan MPR No. III Tahun 2000.

Tata urutan peraturan perundang-undangan dalam UU PPP ini diatur dalam Pasal 7 sebagai berikut.
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah, yang meliputi:
- Peraturan Daerah Provinsi
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
- Peraturan Desa

Tata Urutan Perundang-undangan

Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
3. Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah

1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR-RI) merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.

3. Undang-Undang (UU) dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI.

4. Perpu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
b. DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
c. Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.

5. Peraturan Pemerintah (PP) dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang. 6. Keputusan Presiden (Keppres) yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan

Apakah perlu Konstitusi di rubah

MENGAPA UUD 1945 PERLU DIUBAH?

1. Pasal-pasal dalam UUD 1945 tidak jelas dan tegas dalam memberikan pengaturan. Akibatnya banyak hal yang dengan mudah dapat ditafsirkan oleh siapa saja, tergantung pada kepentingan orang-orang yang menafsirkannya.
2. Pengaturan-pengaturan di dalamnya yang terlampau singkat dan tidak lengkap, serta banyak mendelegasikan pengaturan selanjutnya kepada undang-undang dan belakangan juga Ketetapan MPR. Padahal keduanya sangat rentan terhadap pengaruh politik dari rezim yang tengah berkuasa. Dalam sejarah penerapannya, UUD 1945 yang multi-tafsir ini telah melegitimasi munculnya dua masa pemerintahan yang otoritarian dan melanggengkan kekuasaannya. Karena itu, dengan tetap mempertahankan pada UUD 1945, harapan akan pemerintahan yang demokratis menjadi sangat tergantung pada siapa yang berkuasa. Orang menjadi lebih penting daripada sistem.
3. Di samping itu, Indonesia yang tengah berupaya membangun dan memperbaiki diri untuk lepas dari berbagai krisis membutuhkan perbaikan mendasar di berbagai bidang guna menata ulang seluruh aspek kehidupan bernegara.


MENGAPA HARUS KONSTITUSI BARU?

Walaupun MPR sudah dua kali melakukan perubahan, yaitu di tahun 1999 dan 2000, masih banyak kelemahan mendasar baik dalam isi maupun proses pembuatannya.


Kelemahan dari segi isi/muatan

Dalam dua perubahan tersebut, MPR tidak mendasarkannya pada paradigma yang jelas. Pembahasan bersifat sepotong-sepotong, dengan hanya memperhatikan kepentingan politik jangka pendek pada saat pembahasan dilakukan. Tanpa adanya paradigma yang jelas, tujuan perubahan konstitusi untuk memberikan kejelasan pengaturan tidak akan tercapai.


Kelemahan dari segi proses pembuatan

Konstitusi pada hakekatnya merupakan kontrak sosial antara masyarakat dengan negara. Karena masyarakatlah yang akan terikat dalam suatu kontrak sosial tersebut, maka masyarakat harus dilibatkan dalam proses penyusunannya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Perubahan Pertama dan Kedua tidak melibatkan masyrakat secara serius. Seminar dan diskusi yang diadakan akhirnya hanya dijadikan legitimasi atau setidaknya sumber yang kurang diperhatikan, karena masyarakat tidak dilibatkan sama sekali dalam pengambilan keputusan akhir. Akhirnya proses itu sangat diwarnai oleh kepentingan politik daripada kepentingan seluruh rakyat dalam jangka panjang.


PRINSIP-PRINSIP APA YANG HARUS DIPENUHI DALAM PEMBAUTAN KONSTITUSI BARU?

Konstitusi baru yang akan menggantikan UUD 1945 harus:

1. Memuat klausul yang didasarkan oleh paradigma yang jelas
2. Tidak multi-interpretatif
3. Memenuhi aspirasi masyarakat semaksimal mungkin

Konstitusi baru ini harus dibuat dengan prinsip-prinsip:

1. Partisipatif, dalam arti melibatkan masyarakat secara penuh. Pelibatan masyarakat ini tidak hanya dilakukan melalui semniar atau diskusi tanpa keluaran (output) yang jelas, melainkan harus dengan metode partisipasi yang dapat dipertanggungjawabkan kembali kepada masyarakat.
2. Transparan. Segala pengambilan keputusan maupun masukan yang diterima harus terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat mengetahui persis bagaimana proses tersebut dilakukan.
3. Efisien. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan pendapat masyarakat maupun dalam merumuskan dan mengesahkan Konstitusi baru tersebut harus dilakukan secara efisien, baik dari segi waktu maupun biaya.
4. Tidak memakan waktu yang terlalu lama. Konstitusi baru harus dibentuk sesegera mungkin, agar berbagai agenda reformasi yang terhambat dapat segera dituntaskan.


MENGAPA KOMISI KONTITUSI HARUS DIBENTUK?

Jawabannya adalah karena rakyat harus dilibatkan dalam pembuatan konstitusi baru dan karena perubahan yang dilakukan oleh MPR tampak jelas bahwa mengandung banyak kelemahan. Kelemahan dalam proses yang dilakukan oleh MPR terdiri dari hambatan waktu dan jumlah anggota serta kurangnya partisipasi masyarakat.

Tidak ada upaya yang serius dan terbuka dari MPR dalam menjaring aspirasi masyarakat. Bahkan pengambilan keputusan mengenai amandemen dilakukan hanya dalah wkatu 12 hari Sidang MPR. Bakan dari 12 hari tersebut, praktis hanya 5 hari waktu yang tersedia untuk membahasnya. Pembahasan itupun dilakukan oleh sekitar 200 orang (dalam arti Komisi A), yang membahas dari awal seluruh rancangan dari BP MPR. Dari proses dan jangka waktu seperti itu, jelas sangat sulit atau bahkan mustahil bagi anggota MPR untuk benar-benar dapat memahami dan memutuskan secara bijaksana materi perubahan UUD 1945 yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Apalagi, proses pembahasan yang melibatkan begitu banyak kepala (dan perbedaan kepentingan) harus dirampungkan dalam waktu yang sangat singkat.

Kelemahan-kelemahan proses Perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR di atas semakin menguatkan argumentasi bahwa proses tersebut harus dikeluarkan dari MPR. Konsekuensinya, perubahan tersebut harus dilakukan oleh lembaga yang dapat secara penuh melaksanakan prinsip-prinsip independensi serta melibatkan partisipasi rakyat yaitu Komisi Konstitusi.


APA SAJA TUGAS DAN WEWENANG KOMISI KONTITUSI ?

1. Melakukan penyelidikan dalam rangka penyusunan naskah Rancangan Konstitusi RI;
2. Melakukan upaya-upaya untuk memperoleh masukan dari publik dan lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara;
3. Menyusun masukan dari masyarakat menjadi naskah rancangan Konstitusi RI secara komprehensif untuk disahkan;
4. Melakukan sosialisasi naskah rancangan Konstitusi RI kepada publik.


SIAPA SAJA ANGGOTA KOMISI KONSTITUSI ?

Keanggotaan Komisi Konstitusi harus terdiri dari:

1. Pakar dari berbagai disiplin ilmu
2. Perwakilan dari tiap daerah di Indonesia.


Secara keseluruhan, anggota Komisi Konstitusi haruslah non-partisan, dengan komposisi yang mencerminkan kesetaraan gender, keadilan agama dan etnis serta mengakomodasi unsur dan kepentingan daerah.


BERAPA LAMA KOMISI KONSTITUSI BEKERJA ?

Masa kerja Komisi Konstitusi yang diusulkan oleh Koalisi adalah mulai dari Sidang Tahunan MPR tahun 2001 sampai dengan Sidang Tahunan MPR tahun 2002 dan dimungkinkan adanya perpanjangan waktu.

Kekuatiran baha adanya Komisi akan membuat pembahasan memakan waktu lama merupakan sesuatu yang berlebihan. Lamanya proses itu dapat diatur melalui cara kerja dan organisasi yang terencana dengan baik dan efisien. Komisi Konstitusi di Thailand dapat menyelesaikan keseluruhan proses dalam waktu 240 hari. Sementara Komisi Konstitusi Filipina menyelesaikannya dalam waktu lima bulan.


BAGAIMANA KOMISI KONSTITUSI BEKERJA? DAN BAGAIMANA CARA KITA BERPARTISIPASI?

Penyusunan naskah Konstitusi RI harus dilakukan dalam proses yang transparan dan partisipatif. Mengingat bahwa tidak mungkin melibatkan seluruh rakyat untuk menjadi perumus konstitusi (sebagai anggota Komisi) maka paling tidak Komisi Konstitusi harus secara optimal mengundang partisipasi rakyat untuk penyusunan konstitusi. Oleh karenanya, anggota yang merupakan perwakilan dari tiap daerah diwajibkan pula untuk membentuk semacam sub-komisi di daerahnya masing-masing yang bertugas menjaring aspirasi masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Rakyat bisa berpartisipasi secara aktif dengan mengajukan masukan dan petisi kepada Komisi Konstitusi. Sebagai referensi, di Thailand dan Filipina Komisi Konstitusinya melakukan serangkaian dengar pendapat umum serta mengundang masukan dari masyarakat. Selanjutnya, masukan tersebut diproses secara transparan; masyrakat dapat mengaksesnya kapan saja. Hal ini dapat meminimalkan kemungkinan adanya kepentingan politik jangka pendek dalam proses pembahasannya.


BUKANKAH ADANYA KONSTITUSI BARU MELANGGAR CITA-CITA KEMERDEKAAN INDONESIA?

Sama sekali tidak. Para pendiri negara Indonesia tidak menabukan perubahan konstitusi. Ini terlihat dari adanya pasal 37 UUD 1945 yang mengatur mengenai perubahan konstitusi. Hal ini didasari kesadaran bahwa konstitusi suatu negara memang sangat mungkin untuk berubah, sesuai dengan kondisi aktual masyarakat, walaupun memang perubahannya tidak bisa sesering dan semudah perubahan undang-undang.

Bahkan UUD 1945 sendiri sebenarnya memang didisain sebagai konstitusi sementara. Karena itulah banyak ketentuan yang masih belum terlalu tegas. Sifat sementara UUD 1945 berulangkali dinyatakan oleh proklamator RI Soekarno dalam berbagai kesempatan di awal kemerdekaan. Karena dianggap sebagai UUD sementara pula, Pasal 3 UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tugas MPR adalah menetapkan UUD. Walaupun dalam kenyataannya UUD 1945 ini sudah dianggap sebagai UUD tetap, perlu diingat bahwa UUD 1945 pada awalnya memang dimaksudkan sebagai UUD sementara, sehingga banyak ketentuannya yang perlu diperbarui. Oleh karena itulah, pembentukan konstitusi baru menjadi sangat penting.